Eatlah, Makanan Favorit Yang Dibawa dan Ditularkan ke Indonesia
Eatlah, Makanan Favorit Yang Dibawa dan Ditularkan ke Indonesia

Eatlah inovasi kuliner yang nggak hanya fokus pada makanan, melainkan juga branding dan marketingnya.

Berawal dari makanan favorit ketika sekolah di Singapura, ditularkan ke teman-teman, kemudian dibawa, dan ditularkan kembali ke Indonesia. Hasilnya? Eatlah selalu menjadi top of mind ketika ingin makan salted egg chicken rice.

Endeus beberapa waktu lalu sempat ngobrol dengan Michael Chrisyanto, salah satu founder Eatlah. Di sini ia menceritakan secara detail bagaimana Eatlah mulai dibangun, cita-cita di awal, hingga akhirnya Eatlah bisa sampai seperti sekarang ini.

Eatlah dibangun oleh tiga orang Indonesia dengan semangat membuat casual comfort food di Indonesia, mereka adalah Michael Chrisyanto, Charina Prinandita, dan Riesky Vernandes Putra.

Mereka berpikir karena di sini masih belum ditemukan restoran fast food lokal atau yang dimiliki oleh orang Indonesia, semua yang ada di sini berasal dari luar negeri. “Di bulan Mei 2016, kita berpikir untuk bagaimana mengembangkan usaha baru” Ujar Michael membuka perbincangan.

Saat itu kedua partner- nya masih bersekolah di Singapura. Ketika ia mampir ke sana, pria yang memiliki background desainer ini diajak makan salted egg chicken rice. Dari situ terpikir untuk membuatnya di Indonesia dengan konsep fast food.

Ini lah awal mulanya Eatlah lahir. Membutuhkan waktu tujuh bulan masa pengembangan menu, membawa mereka ke beberapa kali percobaan yang gagal. Kedua partner -nya, Charina dan Riesky yang bertugas untuk develop resep. Nggak lupa juga mereka melibatkan teman dan keluarga untuk memberikan masukan mengenai hasil kerja keras mereka, berkreasi membuat sebuah sajian yang enak.

Berbekal dari berbagai percobaan dan masukan, akhirnya mereka keluar dengan membawa satu buah resep yang matang. “Setelah itu baru dikembangkan sebagai sebuah bisnis,” ujar Michael.

Menyinggung pemilihan nama, Michael yang sudah sering bekerja sama dengan restoran dan hotel dalam mengembangkan produknya memiliki jawaban yang menarik. Karena mendapatkan inspirasi makanan dari Singapura, makanya nggak heran jika diberi nama Eatlah yang terkesan dengan aksen Singlish atau Singaporean English adalah aksen orang Singapura ketika berbicara Bahasa Inggris . Merupakan ajakan untuk makan. “Setiap kali kita mau makan kalo di Singapura, pasti mereka bilang ‘ eat lah ,’ penamaannya sesimple itu.”

Tapi di balik nama Eatlah, Michael melihat dari segi desain logo Eatlah merupakan sebuah nama yang mudah diingat, enam huruf, dengan struktur logo juga baik. Kata “Eatlah” memiliki tiga huruf vokal yang kuat.

Untuk urusan rasa, meski awalnya memang terinspirasi dari Singapura tapi yang jelas ada perbedaan rasa dengan yang Eatlah buat. Karena disesuaikan dengan lidah orang Indonesia agar bisa diterima. “Rasa yang waktu kita coba di Singapura itu lebih manis dari Eatlah, sedangkan kita coba adopsi dengan rasa yang bisa diterima oleh lidah orang Indonesia yang mana lebih suka rasa asin dan pedas,” katanya.

Itulah alasan ketika kita makan Eatlah, disajikan juga kecap asin dan cabai rawit. Ternyata menyantap Eatlah emang lebih enak ketika dicampur dengan kecap asin dan cabai rawit.

Awalnya Eatlah menawarkan dua menu andalannya dengan pilihan protein yang berbeda; ayam dan ikan dori. Sekarang setelah tiga tahun Eatlah berjalan, mereka sudah memiliki tiga pilihan saus yang berbeda; salted egg, sambal, dan brown butter.

Untuk pengembangan variasi rasanya juga memakan waktu yang nggak sebentar. Seperti mereka ngeluarin sambal chicken itu satu tahun setelah salted egg diluncurkan . Begitu juga yang brown butter dirilis satu tahun setelah sambal chicken.

Namun diakui oleh Michael tantangan sebenarnya bukanlah membuat variasi saus yang baru. Tapi bagaimana mengenalkan saus baru kepada para konsumen setia Eatlah agar mereka mau mencobanya.

“Lidah masyarakat Indonesia itu udah bisa makan nasi, telur goreng, dan ayam goreng. Jadi itu nggak akan bisa di- stop. Tapi yang kita ubah adalah sausnya. Mengenalkan sausnya butuh waktu, bagaimana orang mau coba dari salted egg ke sambal chicken, dari sambal chicken ke brown butter .”

Jika diperhatikan lebih seksama, Eatlah sangat memikirkan hal-hal detail pada desainnya. Bisa dilihat di paper box ketika kita pesan terdapat berbagai detail yang unik. Melalui branding yang dipegang langsung oleh Michael yang bisa membuat pada konsumennya justru membantu Eatlah dalam hal marketing.

“Dari situ saya melihat bagaimana media sosial sangat memiliki impact ke anak muda sekarang. Yang mana anak muda sekarang lebih suka posting, bagaimana mereka berinteraksi dengan sebuah produk itu sangat menarik. Sehingga kita melihat bukan hanya makanan yang dibeli oleh anak-anak muda sekarang tetapi bagaimana mereka merasa relevansi antara jiwanya, pribadinya, dengan produk itu sendiri sehingga yang kita jual bukan hanya makanan tapi juga packaging, bagaimana mereka membantu kita secara marketing,” tambahnya.

Kalau kita perhatikan kembali, setiap pembelian Eatlah di dasar bawah paper box -nya terdapat tulisan kecil “ another one lah.” Hal tersebut merupakan salah satu hal detail yang sangat diperhatikan oleh Michael. Bagaimana tulisan kecil tersebut bisa membantunya secara pemasaran.

“Kalau kita cuma buat kotak tanpa detail menurut saya secara fungsi itu baik. Tapi secara marketing itu tidak dipikirkan. Sehingga kita memikirkan hingga ke arah sana.”

Ada cerita mengharukan dari pemilihan craft paper sebagai packaging Eatlah. Dikatakan pada saat itu pasarnya ( craft paper -red) sedang sangat turun. Hingga para produsen craft paper bisa dikatakan hampir bangkrut di Indonesia.

“Saat itu saya sudah memiliki visi untuk menggunakan craft paper sebagai packaging produk saya.” Disebutkan olehnya awalnya Eatlah menggunakan kertas putih untuk packaging , tapi mereka bersahil meyakinkan produsen craft paper untuk bisa tetap beroperasi, dan mereka akan mengambil jumlah pesanan yang cukup besar.

“Akhirnya produsen tersebut berani untuk buka kembali craft paper -nya dan hasilnya permintaan akan craft paper melonjak tinggi. Kita pun ikut happy .”

Semakin populernya Eatlah, hingga banyak orang lain yang juga memesan kotak packaging mirip Eatlah. Dengan kata lain banyak yang meniru pembungkus makanannya. Alih-alih merasa tersaingi atau merasa kesal, mereka justru senang dengan banyaknya permintaan craft paper yang mirip dengan produknya.

“Dari sini kira berpikir Eatlah bukan hanya membuat sesuatu yang berbeda, tetapi juga membuat sebuah impact yang baik bagi produsen craft paper.”

Selain boksnya yang unik dengan ditambahkannya berbagai detail, nama dari tiap cabang Eatlah juga unik. Mereka menggabungkan nama kota atau negara dengan nama makanan atau bahan masakan sebagai ciri dari branch Eatlah.

“Saya ngobrol sama Charina bagaimana menetapkan nama tiap kota (atau negara) yang kita twist dengan nama (bahan) makanan. Kita nggak mau semua (cabang) namanya Eatlah di mana-mana, seakan nggak ada karakternya.”

“Saya merasa tiap cabang Eatlah memiliki karakter masing-masing meski seabagai contoh Eatlah Meggxico tidak seperti Meksiko (dalam desainnya). Tapi hal ini bisa melihatkan bagaimana bedanya karakter Eatlah dalam mengembangkan bisnisnya terhadap restoran lain,” jelas Michael.

Contoh lain yang menarik dari penamaan tiap cabang adalah Eatlah Mie Lan yang bertempat di Jalan Bumi, Eatlah Chickago di Tanjung Duren, Eatlah Ayamwuruk di Jalan Hayam Wuruk, hingga Eatlah New Fork di Pantai Indah Kapuk.

Hal ini juga diterapkan ke semua cabang Eatlah lainnya di seluruh Indonesia. Saat ini sudah ada 24 cabang Eatlah yang tersebar di beberapa kota di Indonesia; Jakarta, Semarang, Surabaya, Jogja, Bandung, dan Bali.

Ngomongin bisnis Eatlah, mereka dari awal memang lebih mem- branding Eatlah itu sendiri daripada salted egg -nya meski menu tersebut adalah menu andalan mereka.

“Ketika orang ingin makan yang cepat, kasual, simpel, dan salted egg, pilihan pertama mereka ya Eatlah. Jadi yang ditekankan adalah Eatlahnya bukan salted egg -nya .”

Selain Eatlah, ada lagi Chipslah dan Drinklah. Semuanya berbeda entitas namun masih dalam satu grup yang sama. Chipslah adalah sebuah brand yang menyediakan makanan ringan potato chips dan fish skin dengan bumbu salted egg. Sedangkan Drinklah adalah brand yang menjual minuman segar.

“Setelah meluncurkan Eatlah, kita trial membuat Drinklah sambil mengembangkan bisnis Chipslah. Hasilnya Chipslah lebih dulu rilis, kemudian baru kita fokus pada Drinklah di satu dan dua bulan terakhir ini. Sekarang Drinklah sudah buka toko pertamanya di lantai 4 Pacific Place.”

“Di Drinklah kita coba mengembangkan berbagai minuman stall. Berbagai minuman-minuman tersebut adalah minuman refreshing drink yang biasa kita cari ketika ke Singapura. Jadi kita twist menjadi lebih Indonesia.”

Mengenai menu favorit di masing-masing brand, salted egg chicken rice masih menjadi primadona di Eatlah. Sedangkan di Drinklah kamu harus coba kiasu.

Ke depannya Eatlah ingin mencoba mengembangkan outlet baru di kota-kota lain seperti Medan, Makassar, Lampung, dan Balikpapan. “Semoga bisa buka juga di luar negeri. Sedangkan untuk Drinklah akan fokus untuk mengembangkan outlet baru lagi,” tutupnya.

Meski Eatlah bukanlah yang pertama hadir dengan menawarkan salted egg chicken rice, tapi hingga kini keberadaannya sangat disyukuri dan bisa dinikmati terutama oleh kita yang doyan banget sama menu-menu yang mereka tawarkan.

Jangan lupa juga untuk menonton Dari Dapur episode Eatlah di Channel YouTube Endeus .

Lion Haloho